Indonesia, May 22nd 2020 - Indonesia is a global hotspot of shark and ray species diversity. Divers from all over the world come to Indonesia to have close encounters with charismatic species such as manta rays, whale sharks and hammerhead sharks. It is also possible to see species which are found nowhere else on earth, such as the Halmahera walking shark, which is found only in North Maluku.
According to a recent study, approximately 190,000 dedicated ‘shark tourists’ visit Indonesia each year, with the specific intention of diving with sharks and rays. These tourists bring an estimated USD 22 million per year in to the Indonesian economy, accounting for at least 7% of Indonesia’s USD 1 billion marine tourism industry.
The study identified a total of 24 important shark and ray tourism destinations throughout Indonesia. Nusa Penida in Bali; Bunaken in North Sulawesi; Komodo National Park in East Nusa Tenggara; Raja Ampat in West Papua; and the Gili islands in West Nusa Tenggara are amongst the most popular and highest earning sites.
Belongas Bay in West Nusa Tenggara is one of few places in the world where divers can see schooling hammerhead sharks, while Saleh Bay is a newly emerging destination for whale shark tourism.
“The economic benefit has not optimally been earned by local communities including diving site for hammerhead sharks in Teluk Belongas Sekotong and whale shark in Saleh Bay,” said Yusron Hadi, Head of Provincial Marine and Fisheries Office, West Nusa Tenggara (NTB). The healthy shark tourism, he continued, will not only provide positive economic impact for local tourism destination but also for sustainable marine and fisheries development. The local government is open for any input to optimize the utilization of environment services by keeping the fisheries resources sustain and giving economic benefit for communities.
Morotai in North Maluku is also an important emerging shark diving destination, with the establishment of Indonesia’s only baited shark dives, where tourists are almost guaranteed to get up close and personal with black tip reef sharks.
M. Buyung Radjiloen, Head of Provincial Marine and Fisheries Office at North Maluku said, their area has also an endemic species Hemiscyllium halmahera, the ‘walking’ shark. “We suggest the government to set marine conservation area management model. For North Maluku case, a community-based marine conservation area management could be initiated,” said Buyung. The management model will enable the tourism activities to put shark conservation as a priority and at the same time to give economic value added to communities.
Unfortunately, these shark and ray populations are also under threat, primarily due to overfishing. Sharks (and their cartilaginous relatives, Class Chondricthyes) are one of the world’s most endangered species groups, with an estimated 1 in 4 species threatened with extinction.
The study estimates that if sharks were absent from the surveyed sites, Indonesia’s tourism industry could lose ∼25% of dive tourist expenditures per year. Based on future projections, if shark populations continue to decline, the tourism industry could suffer economic losses of more than USD 121 million per annum by 2027, as well as detrimental impacts on species, marine ecosystems, fisheries and people.
Since the current annual income from shark tourism is worth ~1.5 times the value of annual shark exports, shark tourism should provide an economic incentive for shark conservation. However, the study also found a mismatch between the absolute economic value of shark and ray tourism, and its role in providing benefits to people who depend on shark fishing. Interviews with local communities in or near shark and ray tourism sites indicate that most shark fishers do not, and are not well placed, to receive direct economic benefits from shark and ray tourism. Since overfishing is the primary threat to shark populations, failure to engage with and appropriately incentivise fishers may be detrimental to Indonesia’s shark conservation efforts. This raises important issues regarding who bears the costs and benefits of conservation, and how to equitably re-distribute them.
“Private companies are the primary beneficiaries of shark conservation, through tourism revenue, while fishers suffer economic losses due to shark protection and management measures. Innovative conservation financing mechanisms, such as tourism taxes and payment for ecosystem service schemes, could help to re-distribute these costs and benefits,” said Noviar Andayani, Country Director of WCS Indonesia Program.
Existing financing mechanism, such as the one established on the Gili Islands, which directs dive tourist donations in to protected area management, could provide a blueprint for incentivising shark conservation. A newly developed app, called Ocean Eye, also seeks to channel donations from divers to provide financial benefits to coastal communities, which are linked directly to healthy marine animal populations.
“The issue of sustainable financing for conservation is even more pressing, now that the global tourism economy has dried up due to COVID-19. Stable long-term investments will be required, that go beyond the panacea of ecotourism” said Hollie Booth from the University of Oxford, who helped to advise on the study.
The national government, and Provincial governments in Aceh and West Nusa Tenggara are already making strides to protect and manage shark populations. For example, science-based quotas have been prepared and released for fishing and trade of silky sharks, while protected areas and fisheries management measures for shark and rays have recently been established in Aceh Jaya, Lunyuk and Tanjung Luar. These are in addition to existing no take zones for sharks and mantas in Komodo National Park and Raja Ampat. Additional funds invested from tourism could help to boost these efforts, so that sharks and rays are effectively protected and sustainably managed, and deliver benefits to people and ecosystems.
Penelitian Terbaru: Populasi hiu sehat menjadi aset perekonomian Indonesia, bernilai 22 juta dolar AS per tahun
Indonesia, 2 Juni 2020 - Sekitar 190.000 “shark tourist” mengunjungi Indonesia setiap tahun dengan tujuan untuk menyelam bersama hiu dan pari. Kelompok wisatawan ini menyumbang sekitar 22 juta dolar AS per tahun untuk perekonomian Indonesia, berkontribusi setidaknya 7 (tujuh) persen terhadap industri pariwisata laut Indonesia yang bernilai satu miliar dolar AS. Demikian ringkasan hasil sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan di Frontiers Marine in Science akhir April 2020 lalu.
Studi ini, yang dilakukan tahun 2017 ini mengidentifikasi 24 destinasi penting wisata hiu dan pari di Indonesia. Nusa Penida di Bali; Bunaken di Sulawesi Utara; Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur; Raja Ampat di Papua Barat; dan pulau-pulau Gili di Nusa Tenggara Barat adalah beberapa lokasi yang paling populer dan berpenghasilan tertinggi.
Indonesia adalah hotspot global bagi keanekaragaman spesies hiu dan pari. Teluk Belongas di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu dari sedikit lokasi di dunia di mana penyelam dapat melihat koloni hiu martil dan Teluk Saleh yang menjadi magnet baru untuk wisata hiu paus.
“Selama ini manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat belum optimal, termasuk kegiatan wisata penyelaman hiu martil di Teluk Belongas Sekotong, dan hiu paus di Teluk Saleh,” ungkap H. Yusron Hadi, S.T., M.UM., Kepala Dinas Kelautan Perikanan NTB. Pengembangan wisata hiu ini, lanjut Yusron, tidak saja berdampak ekonomi bagi peningkatan daya tarik obyek wisata daerah NTB, melainkan juga berdampak positif dalam pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan.
“Karenanya, penting bagi kami untuk membuka ruang interaksi, mendapatkan masukan terkait arah kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan melalui pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan jasa lingkungan untuk memastikan kelestarian sumber daya ikan dalam jangka panjang dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitarnya,” ujar Yusron Hadi.
Selain NTB, wisatawan penyelam dapat melihat spesies yang hanya dapat ditemukan di Indonesia, seperti hiu berjalan Halmahera (Halmahera walking shark) yang terdapat di Maluku Utara. Juga di Morotai, yang menyediakan wisatawan kesempatan berenang bersama hiu karang sirip hitam (blacktip reef shark) dan Kepulauan Banda Neira dengan wisata selam bersama hiu martil. Sayangnya, populasi hiu (dan pari) ini terancam, terutama disebabkan oleh penangkapan yang berlebih (overfishing). Hiu (dan kerabatnya yang bertulang rawan, Kelas Chondricthyes) adalah salah satu kelompok spesies paling terancam di dunia, dengan estimasi satu dari empat spesies terancam punah.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, M. Buyung Radjiloen, S.T., M.Si., menyatakan bahwa Maluku Utara merupakan provinsi kepulauan terbesar, beriklim tropis, dan memiliki stok keanekaragaman sumberdaya hayati tertinggi (mega biodiversity) dengan berbagai jenis sumber daya perikanan termasuk ikan hiu dan pari. Namun, Maluku Utara tercatat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat penangkapan hiu cukup tinggi di Indonesia, baik sebagai hasil tangkapan utama maupun sampingan.
“Padahal hiu memiliki peranan penting dalam keseimbangan rantai ekosistem di laut,” ujar M. Buyung Radjiloen. Hiu berjalan Halmahera (Hemiscyllium halmahera), misalnya, merupakan spesies endemik Maluku Utara dengan wilayah penyebaran yang sempit dan spesifik serta memiliki peranan penting dalam sistem rantai makanan di laut terutama pada struktur komunitas terumbu karang yang dangkal. Hiu berjalan ini merupakan spesies prioritas nasional yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
“Karena itu, saya mengusulkan kepada pemerintah segera menetapkan model pengelolaan kawasan konservasi perairan. Salah satu model usulan pengelolaannya dapat dilakukan dengan pendekatan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Maluku Utara yang berbasis masyarakat. Dengan demikian, hiu berjalan Halmahera bukan hanya sebagai spesies unggulan yang harus dilestarikan tapi juga dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat melalui pengembangan pariwisata bahari,” jelas Buyung.
Studi ini memperkirakan, jika tanpa hiu di lokasi-lokasi tersebut, industri pariwisata Indonesia berpotensi kehilangan sekitar 25% dari pendapatan wisata selam per tahun. Berdasarkan proyeksi, jika populasi hiu terus menurun, industri pariwisata dapat mengalami kerugian ekonomi lebih dari 121 juta dolar AS per tahun pada tahun 2027, serta akan berdampak buruk pada spesies, ekosistem laut, perikanan, dan manusia.
Mengingat pendapatan per tahun saat ini dari wisata hiu bernilai sekitar 1,5 kali dari nilai ekspor hiu tahunan, maka wisata hiu harus memberikan insentif ekonomi untuk konservasi hiu. Namun, penelitian ini menemukan ketidakcocokan nilai ekonomi absolut wisata hiu dan pari, dengan manfaat yang diterima masyarakat yang bergantung pada penangkapan hiu. Studi ini mengungkapkan, sebagian besar nelayan hiu tidak berada pada posisi yang menguntungkan dalam menerima manfaat ekonomi langsung dari wisata hiu dan pari. Karena penangkapan berlebih menjadi ancaman utama populasi hiu, ketidakmampuan dalam melibatkan dan memberikan insentif yang tepat untuk nelayan dapat menghambat upaya konservasi hiu dan pari di Indonesia. Hal ini menimbulkan isu lainnya mengenai siapa yang menanggung biaya dan manfaat konservasi serta mekanisme pendistribusiannya secara adil.
“Perusahaan swasta adalah pihak penerima utama manfaat konservasi hiu, yakni melalui pendapatan wisata, sementara nelayan mengalami kerugian ekonomi karena upaya perlindungan dan pengelolaan hiu. Mekanisme pendanaan konservasi yang inovatif, seperti pajak pariwisata dan pembayaran melalui skema jasa ekosistem, dapat membantu mendistribusikan kembali biaya dan manfaat ini,” ungkap Country Director Wildlife Conservation Society Indonesia Program, Dr. Noviar Andayani. Isu pembiayaan berkelanjutan untuk konservasi bahkan lebih mendesak, karena ekonomi pariwisata global tengah menurun di tengah pandemi COVID-19. Investasi jangka panjang yang stabil akan jauh lebih diperlukan dari sekadar pemulihan ekowisata.
Mekanisme pembiayaan yang telah ada, seperti yang ditetapkan di Kepulauan Gili, yang mengalokasikan donasi wisata selam ke pengelola kawasan konservasi, dapat memberikan cetak biru untuk insentif konservasi hiu. Ocean Eye, misalnya, sebuah aplikasi yang diinisiasi oleh Dr. Jane Lubchenco dan dikembangkan oleh beberapa peneliti, juga berupaya menyalurkan donasi dari penyelam untuk memberikan manfaat finansial bagi masyarakat pesisir, yang terkait langsung dengan populasi satwa laut yang sehat.
Sejauh ini, Pemerintah pusat bersama pemerintah provinsi di Aceh dan Nusa Tenggara Barat telah melakukan upaya untuk melindungi dan mengelola populasi hiu. Misalnya, dengan menyiapkan dan merilis kuota berbasis sains untuk membatasi penangkapan dan perdagangan hiu kejen (silky shark). Pemerintah baru-baru ini juga menetapkan kawasan lindung dan langkah-langkah pengelolaan perikanan untuk hiu dan pari di Aceh Jaya, Lunyuk, dan Tanjung Luar. Sebelumnya, pemerintah juga telah menetapkan zona larang tangkap hiu dan pari di Taman Nasional Komodo dan Raja Ampat. Dana tambahan yang diinvestasikan dari pariwisata dapat membantu meningkatkan upaya-upaya ini sehingga hiu dan pari dapat dilindungi secara efektif dan dikelola secara berkelanjutan, serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan ekosistem.