By Musir Riswan
Istilah konflik antara manusia dengan harimau agaknya belum familiar di kalangan masyarakat Aceh. Masyarakat lebih akrab dengan istilah bahasa Aceh rimeung sawue gampong, maupun rimeung pajoh leumo, keubeu, atau kameng. Artinya, harimau mengunjungi desa, maupun harimau memakan sapi, kerbau, atau kambing.
Istilah itu menyiratkan nuansa kearifan lokal yang berkembang di beberapa desa, terutama di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Bila ada ternak yang dimangsa harimau, warga memandangnya sebagai bagian dari zakat harta tertentu yang wajib dikeluarkan kaum muslim. Dalam konteks lokal ini, harimau dinilai sebagai perantara dalam penyucian harta, yang mungkin pemilik ternak lupa membayar zakat kepada golongan yang berhak.
Tak heran, jika terjadi konflik, warga cenderung meresponnya dengan ritual kearifan lokal. Di beberapa desa, warga mengenal orang yang bisa berkomunikasi secara spiritual dengan harimau. Masyarakat mengganggap, jika sudah berkomunikasi dengan harimau, sang pemangsa ini akan menghindar dari permukiman atau kebun.
Namun, hasil ‘mitigasi’ seturut tradisi ini tidak ada durasi waktu yang pasti. Alhasil, tak jarang timbul pertanyaan apakah harimau akan kembali lagi di lain waktu? Terkadang, setelah ritual, tanda-tanda kehadiran harimau tidak terdeteksi sampai berbulan-bulan. Namun, tak jarang pula, dalam hitungan pekan usai ritual, harimau kembali menunjukkan tanda-tanda keberadaannya. Singkat kisah, tak ada yang bisa menjamin harimau tidak akan berkeliaran lagi di seputar permukiman.
Bila begitu, respon secara spiritual itu nampaknya tidak bisa menjamin konflik telah redam. Namun, upaya mitigasi harus tetap melestarikan kearifan lokal dan hubungan emosional masyarakat dengan hidupan liar. Ini terutama bagi masyarakat yang tempat tinggalnya menjadi titik rawan konflik. Hubungan emosional ini dapat memperkaya mitigasi jangka panjang karena telah menjadi pengetahuan masyarakat dalam mengelola konflik.
Pada saat yang sama, hubungan emosional juga dapat menjadi pintu masuk bagi mitigasi yang tidak sekadar mencegah konflik, namun juga mendorong masyarakat hidup adaptif. Harapannya, dengan pendekatan ini masyarakat tidak lagi memandang hidup berdampingan dengan harimau sebagai konflik. Tapi, warga memandangnya sebagai interaksi yang wajar karena tinggal di sekitar hutan habitat harimau.
Pada hakikatnya, interaksi negatif dapat dihindari bila konflik tidak menimbulkan kerugian. Dalam konteks ini, yang terjadi sebenarnya hanya sebatas ‘perjumpaan’ dengan harimau, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ada sejumlah teknik untuk mengidentifikasi keberadaan harimau yang berkonflik, entah dengan mengendus jejak, cakaran, ataupun memasang kamera intai di jalur harimau. Untuk mengenali tanda-tanda harimau tentu memerlukan ketelitian dalam mengamati temuan di lapangan.
Jejak harimau yang lengkap dan utuh dapat mengabarkan informasi tentang kesehatan si harimau. Bila harimau terluka jerat sling misalnya, jejaknya terlihat pincang dan tidak utuh.
Sementara itu, identifikasi dengan kamera intai memerlukan informasi awal yang memadai. Beberapa informasi dari warga di daerah konflik terkait dengan lokasi, waktu, dan intensitas kemunculan si harimau. Data awal ini menjadi acuan dalam menentukan lokasi pemasangan kamera intai.
Kamera intai akan tetap terpasang sampai ada informasi ditemukannya tanda-tanda keberadaan harimau. Jika tidak ada informasi, kamera intai dapat tetap terpasang maksimal satu bulan lantaran baterai dan memori kamera harus diganti. Salah satu penyebab borosnya baterai: kamera terlalu sering merekam pergerakan manusia di permukiman.
Pada malam hari, warga perlu meronda daerah yang rawan munculnya harimau. Upaya ini bisa dilakukan berkelompok dengan memakai lampu penerang dan alat-alat yang bisa menghasilkan suara lantang—seperti kentongan. Aktivitas seperti ini akan membuat harimau risih dan tidak nyaman berada di dekat permukiman.
Selain monitoring, masyarakat terdampak konflik juga perlu diberi pemahaman tentang perilaku harimau dan kiat-kiat mengelola konflik. Di beberapa desa, pemahaman seperti ini sangat dibutuhkan. Apalagi jika konflik telah menelan korban jiwa.
Dalam situasi seperti itu, biasanya warga antusias mendengarkan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan ini dapat menjadi media kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai mitigasi konflik dan pelestarian hidupan liar. Peningkatan kesadaran diharapkan dapat mencegah ekskalasi konflik, sehingga dapat menghindari jatuhnya korban di kedua belah pihak, baik manusia maupun harimau sumatra.