Selalu ada alasan untuk ke Medan
Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, alasan saya untuk menyambangi Tim WCS di Medan kali ini sangat sederhana. Jika sebelumnya kedatangan saya selalu berurusan dengan penandatanganan kerjasama, menghadiri rapat dengan Balai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), atau menemani tamu-tamu penting, kali ini saya hanya ingin bertemu dengan Tim untuk mendengarkan cerita-cerita mereka dan menyampaikan harapan-harapan saya. Cukup lama juga saya tidak bertemu mereka. Terakhir saya datang hampir empat tahun silam, saat menemai Pak Joe Walston dan tamu-tamu penting lain meninjau berbagai program konservasi kita di TNGL.
Saya memang punya banyak alasan untuk ke Medan. Di kota inilah WCS merintis dan membangun Program Leuser yang kemudian menjadi program konservasi terbesar dan terkuat kita di Indonesia. Sudah 17 tahun kita berkerja dan berkarya di bentang alam Leuser dan selama rentang waktu itu sudah banyak cerita yang kita rangkai, mulai dari yang membanggakan, mengembirakan, hingga yang memprihatinkan dan membuat dahi berkerenyit. Akan tetapi, alasan saya untuk datang ke Medan tidak pernah untuk kedua alasan terakhir itu, karena program kita di Leuser dan orang-orang hebat yang mendukungnya adalah cerita penuh inspirasi tentang kerja keras dan kesetiaan terhadap misi WCS di negeri ini.
Catatan ringan ini adalah ungkapan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh Tim WCS di Medan yang mengoperasikan kerja-kerja konservasi kita di Bentang Alam Leuser. Namanya juga catatan ringan, sehingga tidak akan ada hal teknis dan substantif yang saya tuliskan. Saya hanya ingin bercerita tentang rasa sukur, bangga, dan harapan dalam menjaga harimau, gajah, orangutan, dan rangkong gading yang tersampaikan saat menikmati gulai kepala ikan dan gulai kambing dengan kopi kawan Sidikalang di antaranya!
Antara Medan & Tapaktuan
Selain bertemu dengan Tim, sebenarnya ada alasan lain yang sangat berarti bagi kunjungan saya kali ini. Ada ‘sosok’ penting yang ingin saya jumpai, tidak di Medan, tetapi berada 360 km jauhnya dari sana. Sekitar empat tahun yang lalu, Musir, yang menjadi salah satu garda terdepan WCS melindungi harimau sumatera, berkabar bahwa ia dan istrinya sedang menanti kelahiran bayi perempuan untuk melengkapi kebahagiaan keluarga kecil mereka. Musir meminta ijin untuk menamakan bayi yang sedang dikandung itu sama dengan nama saya. Menurut banyak orang, nama adalah doa, dan doa Musir beserta istrinya adalah agar bayi perempuan mereka bisa menjadi orang yang meyakini bahwa alam ini harus bisa memberikan ruang bagi semua bentuk kehidupan. Pada 14 Februari 2020, bayi perempuan yang ditunggupun hadir, sehingga ada Noviar Andayani di dalam keluarga mereka. Yani kecil adalah alasan bermakna perjalanan menembus jajaran Bukit Barisan antara Medan dan Tapaktuan, kota terdekat menuju rumah Musir di selatan kota.
Perjalanan dari Medan menuju Tapaktuan dimulai pada pukul 6 pagi. Hari itu Kamis 5 September 2024, dan jalanan di Medan masih basah oleh hujan dari malam sebelumnya. Pagi yang sedikit mendung tidak menurunkan semangat dan keriaan untuk memulai perjalanan panjang yang diperkirakan memakan waktu antara tujuh hingga delapan jam dengan mobil. Ternyata saya dan Tim baru tiba di tujuan setelah 14 jam meninggalkan Medan. Keterlambatan itu baiknya bukan disebabkan oleh kemacetan atau jalan rusak, melainkan kami sempatkan untuk menikmati berbagai hal yang memang patut dinikmati sepanjang perjalanan. Yang tak terlupakan adalah sarapan pagi dengan gulai kambing di Restoran Terang Bulan, Bandarbaru. Tidak heran, Tarmizi, yang menjadi komandan WCS di Program Leuser, menghabiskan semangkuk gulai seorang diri. Saya sebenarnya bukan penggemar kambing, akan tetapi gulai kambing di tempat itu memang sangat sayang untuk dilewatkan.
Alasan lain keterlambatan kami adalah Subussalam. Kota kecil itu menjadi basis kerja-kerja konservasi WCS di Aceh Selatan dan Singkil. Kami singgah cukup lama di sana untuk berbincang berbagai hal, mulai dari lele yang diambil masyarakat dari kawasan Suaka Margasatwa (SM) Singkil hingga hubungan musim barat dengan frekuensi interaksi negatif harimau dan manusia. Tentu saja saya tidak melewatkan kesempatan yang baik itu untuk mengulang pesan yang saya sampaikan di Kantor Medan bahwa Dodo, Dian, Kardi, Rahmadi, Musir, Romi, Fajar, Bahrul, Reza, dan semua yang saya temui namun tidak dapat saya tuliskan namanya satu persatu adalah garda terdepan misi WCS di Leuser.
Kekuatan narasi yang kita bangun tentang menjaga dan melindungi harimau dan hidupanliar lainnya di bentang alam itu adalah hasil kerja keras dan dedikasi mereka. Saya juga menyampaikan harapan (bukan instruksi, tentunya) agar mereka rajin menuliskan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan saat menjalankan misi WCS, karena pengalaman yang direkam melalui tulisan adalah pengetahuan, dan pengetahuan yang saling diceritakan dapat menjadi inspirasi.
Belajar dari Tepi Rawa Singkil
Catatan ringan ini dimulai dengan banyak alasan untuk ke Medan dan keinginan saya untuk menjelajahi SM Singkil adalah salah satunya. Medan memang gerbang yang lebih dekat ke sana ketimbang Banda Aceh. Kami menuju Singkil dalam perjalanan pulang setelah tinggal sehari di Tapaktuan. Meskipun hanya sebentar, saya bersukur berkesempatan berjumpa dan berbincang dengan tokoh-tokoh masyarakat di Desa Panton Luas yang berada di atas kota pinggir pantai itu. Letak geografis Tapaktuan memang unik. Kota itu adalah jajaran permukiman sepanjang teluk yang menghadap ke Lautan India dan langsung membelakangi Bukit Barisan. Dapat dibayangkan, perjalanan ke Panton Luas adalah pengalaman indah memanjakan mata yang menghadirkan belantara Bukit Barisan di depan dan Lautan India di belakang dengan Tapaktuan di antaranya.
Kami tidak dapat tinggal terlalu lama di Panton Luas karena ada janji bertemu Bu Fitri, kepala Bidang Wilayah Pengelolaan I, Taman Nasional Gunung Leuser yang berkantor di Tapaktuan. Selain itu ada kewajiban sholat Jumat yang menunggu Tarmizi dan kawan-kawan.
Meskipun singkat saya belajar banyak tentang Panton Luas melalui perbincangan dengan Pak Kecik, Pak Ketua Adat, Ketua KSM Rimueng Aulia, dan anggota desa lainnya. Saya belajar tentang kerendahan hati hidup di antara kelebatan hutan dan hidupanliar yang dapat mengancam nyawa mereka. Di desa ini Musir kehilangan abangnya. Saya juga belajar tentang harapan-harapan mereka.
Kami meninggalkan Tapaktuan pada Sabtu pagi, 7 September 2024. Musir dan kawan-kawan membekali kami dengan nasi gurih yang kami nikmati di pinggir pantai menuju Rawa Singkil. Tidak banyak yang saya ingat dari tempat sarapan itu, kecuali pondok-pondoknya yang dicat merah jambu dan lagu batak yang tiba-tiba diputar pemilik pondok dengan kerasnya. Mungkin beliau melihat pelat “BK” mobil kami atau memang beliau berasal dari sana mengingat Kabupaten Aceh Selatan dan Singkil berbatasan dengan Kabupaten Dairi di Sumatera Utara. Kami melanjutkan perjalanan diiringi lagu yang kami tidak tahu judul dan artinya.
Tiga jam kemudian kami sudah berada di jalan yang membelah SM Singkil dan menampakkan pohon-pohon sawit yang menjadi ancaman utama bagi integritas ekosistem rawa gambut terluas di Propinsi Aceh itu. Di simpang tiga sebelum kawasan, Kardi dan Rahmadi menunggu kami. Dari mereka saya belajar tentang sawit yang ditanam dari tepi jalan hingga 200-meter ke arah batas kawasan. Terkadang lebar kebun bisa mencapai 1 km juga.
Pembangunan jalan Buluhsema-Singkil memang menjadi pemicu perluasan kebun sawit milik masyarakat. Mereka juga bercerita tentang pohon tualang yang menjadi tempat idaman lebah hutan untuk bersarang dan menghasilkan madu. Pohon itu berdiri tinggi dan sendiri di antara batang-batang pohon yang ditebas untuk memberi jalan kepada sawit. Ada rasa haru melihat tualang yang seolah menolak untuk di-sawit-kan dan memuat pesan bahwa hutan sesungguhnya adalah penjamin kehidupan.
Rencana awal kami untuk mengelilingi rawa pupus oleh kabar putusnya sejumlah jembatan antara Buluhsema dan Singkil. Kami berhenti di titik yang tidak mungkin lagi dilalui oleh mobil dan memutuskan untuk berjalan kaki menuju sepotong jalan di dalam kawasan yang diapit oleh laut di kedua sisinya. Menurut Kardi potongan jalan itu hanya berjarak sekitar 2km dari tempat mobil berhenti. Sayangnya, perjalanan kami juga terhenti sebelum sampai di tujuan karena tidak ada sisa jembatan yang bisa kami seberangi. Kekecewaan saya terobati karena berpapasan dengan sepasang rangkong papan yang melintas terbang ke dalam hutan. Lebih dari itu karena saya berjalan bersama Tim yang menjadikan WCS kekuatan konservasi terhormat di bentang alam yang luar biasa ini.
Semua orang punya cerita
Catatan ringan ini saya tuliskan untuk meyakinkan Tarmizi dan kawan-kawan bahwa cerita mereka pasti lebih hebat dan lebih seru untuk diceritakan dibandingkan cerita saya. Sebagai garda terdepan misi WCS memperjuangkan ruang dan hak hidup bagi berbagai ragam kehidupan, mereka senantiasa berada di tengah pengalaman dan petualangan seru yang tidak bisa dialami semua orang. Alangkah sayangnya jika keseruan itu tidak bisa dibagi dengan orang lain, apalagi menjadi inspirasi untuk bersama-sama menjaga harimau dan kawan-kawannya. Menuliskan pengalaman dan pemikiran yang menyertainya tidak boleh menjadi kendala, apapun alasannya. Saya percaya bahwa pengalaman dan pemikiran yang dituliskan adalah pengetahuan, dan pengetahuan yang diamalkan akan menuai kebaikan melampaui ruang dan waktu.
Saya ingin menutup catatan ringan ini dengan membagikan cerita seru tentang pernikahan Sudiro, beberapa tahun yang lalu. Dodo yang menyeritakannya ke saya sewaktu kami berjalan menyusuri tepi Rawa Singkil. Yang seru dan menarik dari cerita itu adalah bagaimana teman-teman WRU Leuser menyalakan mercon yang biasa mereka gunakan untuk mengusir gajah sewaktu mengarak Sudiro menuju rumah mempelai wanita. Dodo bilang kalau di Angkatan Laut ada tradisi pedang pora, maka di WRU ada tradisi menyalakan mercon dan meriam bambu. Hati saya menjadi hangat mendengar cerita itu – di dalam keseruan dan mungkin sedikit kekonyolan yang mereka lakukan ada kesetiakawanan dan kesetiaan terhadap WCS dan misi kita.